Kesalehan
Manusia kadang menjadi apa yang dipikirkan, begitu kata filosof. Manusia itu kadang jatuh pada tabiat hayawan karena nafsu, begitu juga kata agamawan. Dan manusia bisa saja menajadi "bukan manusia", itu kata ahli makrifat.Manusia cenderung terhadap kebenaran dan keuntungan pribadinya. Terlepas ia tahu apakah kebenaran itu bersifat parsial ataupun universal, dan apakah keuntungan itu mengganggu orang lain atau malah sama sama saling menguntungkan. Yang pasti, ia akan mempertahankan apa yang menjadi keyakinan dan nasib hidupnya.
Tahu diri dan tawadlu sebagai bentuk sikap kesalehan terkadang sangat berat dan sungguh melelahkan. Tapi itu semua masalah kebiasaan. Biasa berpikir dan biasa melakukan.
Puasa katanya ajang untuk menempa diri agar kebangkitan spiritualitas kita lebih maju. Puasa katanya juga sebagai latihan untuk mengekang hawa diri, yang semua itu agar menjadikan lebih salih dibanding hari sebelumnya.
Tapi coba saja kita lihat, shalat yang katanya tempat untuk menahan kezaliman yaitu kekejian dan kemungkaran, ternyata belum kelihatan bentuknya bagi peradaban akhlak kemanusiaan, khususnya di mana kamu tinggal. Lalu apa yang salah? Bukankah simbol paling jelas seseorang itu saleh adalah ketika ia rajin shalat baik sendiri maupun berjamaah?
Kawan, kalau Tuhanku saja engkau berani khianati, lalu bagaimana engkau meyakinkan aku untuk mempercayaimu? Maksudku begini, kesalehaan seseorang itu kadang tidak tampak dari rutinitas religiusitasnya. Tapi ia bisa berwajah kemaslahatan yang ia lakukan untuk diri dan masyarakatnya. Untuk apa shalat dan puasa full di masjid bila masih suka menyalahkan orang lain? Menganggap orang lain sesat, bid'ah, khurafat, bahkan kafir? Oh no man....., Nabiku itu orang paling salih tapi tidak begitu kok?
Maghriban terus ngopi ☕☕☕
Tidak ada komentar:
Posting Komentar